Thursday, April 03, 2008

Risiko Epilepsi Akibat Perilaku Ibu

Penyakit yang disebut ayan ini memang bukan penyakit turunan. Namun risikonya berkaitan erat dengan perilaku ibu semasa hamil.

Sekelompok orang mengelilingi sesosok tubuh seorang pria yang tergeletak di tanah yang kejang-kejang, sementara mulutnya mengeluarkan busa. Namun bukannya menolong, orang-orang hanya menonton dan saling pandang satu sama lain tidak tahu harus berbuat apa. Bahkan, beberapa diantaranya menyingkir karena merasa ngeri melihata pemandangan di depannya. Pria paruh baya yang menjadi tontonan itu adalah pengidap epilepsi yang sedang kambuh.

Meski dilansir cukup banyak pengidapnya di Indonesia, penyakit ini menggambarkan fenomena gunung es, hanya sedikit yang ditangani oleh dokter ahli. Penyebabnya ialah kurangnya pengetahuan masyarakat akan penyakit ini. Pengidap epilepsi sering dianggap aib bagi keluarga dan lingkungan sekitarnya hingga tidak mendapatkan perawatan yang semestinya. Bahkan pada masyarakat tertentu, epilepsi sering dikaitkan dengan hal-hal yang berbau mistis.

Gangguan pada fungsi saraf
-------------------------------
Dalam melakukan aktivitas tiap hari diperlukan harmonisasi antara perintah di otak dan pergerakan otot. Muatan listrik di otak timbul akibat reaksi ion dan saraf pengantar yang kemudian akan memberikan rangsangan pada otot agar bergerak.

Normalnya, listrik akan terus berjalan hingga rangsangan sampai ke otot. Akan tetapi bila ada masalah di otak, misalnya ada bekas luka, kerusakan, atau tumor di otak, rangsangan listrik ini akan tertahan dan terus berkumpul hingga pada akhirnya akan lepas sendiri (discharge). Pelepasan rangsangan listrik inilah yang menimbulkan serangan epilepsi.

Menurut dr. Salim Harris, SpS(K) dari Rumah Sakit Abdi Waluyo – Jakarta, epilepsi adalah kelainan akibat lepasnya muatan listrik di otak setempat yang abnormal dan berulang. “Gangguan pada pengidap epilepsi merupakan gangguan pada fungsi saraf atau fungsi otak karena ada bekas luka atau tumor kecil,” tambahnya.

Bekas luka atau tumor yang menyebabkan pelepasan muatan listrik ini bisa terjadi pada semua bagian otak, yang nantinya akan menentukan tipe serangan. Misalnya jika kerusakan terjadi di otak daerah penciuman, maka saat serangan, penderitanya bisa tiba-tiba mencium bau aneh. Atau bila kerusakan di daerah otak kanan maka mungkin saja terjadi kejang-kejang di tangan kiri atau kedutan di wajah bagian kiri. Bila terjadi pelepasan muatan listrik di kedua bagian otak akan menyebabkan ketidaksadaran pada pengidap epilepsi.

Tiga tipe epilepsi
---------------------
Pada dasarnya ada tiga tipe epilepsi yaitu epilepsi lokal/setempat, epilepsi umum, dan epilepsi yang tidak tergolongkan. Meskipun berbeda jenisnya tapi serangan epilepsi umumnya sama yaitu berlangsung selama 5-7 detik dan datang secara berkala. Bisa tiap hari, beberapa hari, seminggu, atau dua minggu sekali. Tipe serangan ini nantinya akan terus sama hingga pengidapnya benar-benar sembuh.

Epilepsi lokal dapat dibedakan menjadi tiga tipe serangan; lokal sederhana, lokal bangkitan umum, dan lokal kompleks. Ketika mengalami serangan epilepsi lokal sederhana, pengidapnya dalam keadaan sadar tapi misalnya tangannya tiba-tiba bergetar dengan sendirinya dan ia tak dapat menahannya. Serangan terjadi akibat manifestasi klinis gejala pada saraf jenis sensoris, motoris, maupun otonom yang terjadi tanpa kendali.

Sedikit berbeda, pada serangan tipe lokal bangkitan umum, serangan yang datang biasanya menjalar secara berurut, misalnya diawali dengan menjentikkan tangan lalu kejang-kejang pada kedua tangan. Lain lagi epilepsi jenis lokal kompleks dimana saat serangan datang pengidapnya tidak sadar akan perbuatannya, misalnya tiba-tiba meludahi orang atau termenung dan sibuk dengan pikirannya sendiri.

Serangan epilepsi jenis umum menyebabkan pengidapnya bukan hanya kejang-kejang berat dan kaku sekujur tubuh, bahkan bisa langsung jatuh pingsan. Hal ini dikarenakan serangan menyebabkan hilangnya kekuatan otot untuk menyokong tubuh. Selain itu juga bisa menyebabkan gangguan pada organ tubuh dan ada juga pertanda yang mudah dilihat, yaitu keluarnya air liur.

Jenis epilepsi tidak tergolongkan seringkali disalahartikan sebagai salah satu penyakit jiwa. Tak heran timbul salah persepsi, karena pengidap epilepsi jenis ini menunjukkan gejala perilaku aneh yang berulang serta di luar kesadaran pengidapnya. Misalnya tiba-tiba merasa dibisiki seseorang atau melihat sesuatu layaknya paranormal. “Pada penyakit jiwa tidak ada periodisitas. Sedangkan artinya serangan epilepsi hanya berlangsung singkat dan di waktu tertentu, lain halnya dengan penyakit jiwa yang sifatnya menetap,” tegas dokter spesialis saraf ini.

Berkaitan erat dengan perilaku ibu
------------------------------------
Mendiagnosa penyakit ini tidak semudah membalik telapak tangan, diperlukan pemeriksaan klinis yang menyeluruh. Tidak hanya berdasar hasil laboratorium, tapi juga harus diadakan wawancara mendalam dengan pengidap.

Dokter Salim mencontohkan salah satu pasiennya seorang anak usia 8 tahun yang mengeluh merasa kepala berputar tiap hari (vertigo). Meskipun serangan terus berulang dan hasil scan menunjukkan adanya kelainan, setelah observasi terus akhirnya diketahui bahwa anak tersebut sebenarnya sensitif terhadap MSG (bumbu penyedap).

Selain itu pengamatan juga harus jeli melihat adanya tumor di otak, karena tumor merupakan salah satu penyebab epilepsi pada orang dewasa, terutama yang tidak pernah mengalami gegar otak. Epilepsi juga bisa disebabkan infeksi maupun peradangan pada otak. Bisa pula oleh disebabkan virus toxoplasma. Konon virus ini menyebabkan pengapuran dan kerusakan pada otak bayi yang dikandung ibu hamil.

Proses persalinan yang mendadak, misalnya dalam kendaraan yang sedang berjalan, juga dapat menimbulkan kerusakan pada otak bayi. Perbedaan tekanan di dalam dan luar rahim ternyata berefek negatif pada jabang bayi yang baru lahir. “Bayi berisiko terhadap epilepsi akibat perilaku ibunya, karenanya penting dilakukan pemeriksaan kehamilan dan antisipasi saat persalinan,” jelas dr. Salim.

Sesudah diagnosa dilakukan, maka dokter akan melakukan pengobatan dengan satu obat terlebih dahulu yang spesifik dengan gejala serangan. Bila nantinya diperlukan obat tambahan maka dokter tidak boleh ragu-ragu untuk memberikannya, karena bila serangan belum tertahan, nyawalah taruhannya.

Selama masa pengobatan hendaknya pasien patuh mengonsumsi obat. Setelah lima tahun masa pengobatan berlalu dan pengidap tidak lagi mengalami serangan, baru dokter boleh menurunkan dosis obat yang dikonsumsi.

Langkah terakhir yang bisa ditempuh bila serangan tidak juga berhenti setelah bertahun-tahun masa pengobatan ialah dengan operasi yang dilakukan ahli bedah saraf. Akibat adanya jaringan penghubung otak kiri dan kanan yang diputus, setelah operasi koordinasi antara otak kiri dan kanan tidak baik lagi. Misalnya penderita tidak bisa membedakan pulpen dan sedotan yang dipegang di tangan kanan dan kirinya.

Namun langkah operasi ini merupakan pilihan terbaik dibanding penderitaan yang berkepanjangan bagi penderita epilepsi, baik secara psikis maupun psikologis

No comments: