Thursday, April 03, 2008

Cara Melindungi Buah Hati dari Kekerasan Seksual

Beberapa waktu lalu, di Jakarta, ada enam anak perempuan yang duduk di kelas empat Sekolah Dasar (SD) diketahui mengalami pelecehan seksual oleh penjual mainan yang biasa berjualan di depan sekolahnya. Ada yang mengaku dipegang-pegang dadanya, ada yang disuruh membuka celana lalu ditindih. Sampai ada juga yang mengaku dikencingi. Entah itu maksudnya pelaku mengeluarkan sperma atau benar-benar kencing.

Yang cukup parah, salah satu anak robek vaginanya. Tentunya, pengakuan mereka sangat mengejutkan pihak sekolah dan para orangtua. Perasaan syok yang dialami orangtua menimbulkan bermacam pemikiran. Sampai akhirnya banyak yang menyalahkan pengawasan orangtua yang kurang ketat.

Namun, jika kejadiannya seperti kisah di atas, pengawasan orangtua tidak bisa dikatakan sebagai penyebab. Pasalnya, orangtua tidak mungkin mengawasi anak selama 24 jam. Langkah yang bisa dilakukan yaitu bersikap terbuka dan memahami tanda-tanda perubahan pada anak.

Pelaku orang dekat
Anak berisiko mengalami kekerasan seksual termasuk pelecehan dan perkosaan. Anak berada dalam posisi yang rentan, masih kecil, belum bisa berpikir dengan baik adalah tiga alasan mengapa anak agak mudah mengalami kekerasan seksual. Sedangkan orang dewasa sebagai pelakunya selalu mencari sasaran yang aman ketika ia ingin melakukan hal yang tidak baik.

Tetapi yang lebih rentan adalah jika anak tidak mendapatkan pengawasan dari orangtuanya atau pisah dengan orangtuanya. Misalnya anak tinggal bersama orang lain, orangtua tidak berfungsi dengan baik, ayah pengangguran sehingga melakukan kekerasan pada anaknya. “Bisa juga menimpa pada anak, yang ibunya single parent sehingga tidak punya waktu mengurus anak,” papar Kristi Poerwandari, dari Pusat Kajian Wanita Universitas Indonesia.

Ditegaskan kembali, terjadinya kekerasan seksual tidak bisa sepenuhnya menyalahi kurangnya pengawasan orangtua. Permasalahan sebenarnya ada pada pelaku. Menurut Kristi, pelaku kekerasan seksual bisa berasal dari manapun. Ada yang pelakunya sopir jemputan sekolah, sopir pribadi, ayah korban, termasuk tetangga.

Memang, menurut Kristi, mendengar banyaknya kasus kekerasan pada anak, orangtua menjadi was-was dan selalu harus waspada. “Tapi orangtua tak perlu jadi paranoid karena hal ini. Memang mendidik anak zaman sekarang banyak tantangannya. Jangan sampai orangtua menjadi selalu curiga dengan sopir lalu memperlakukan mereka tidak baik,” lanjut Kristi.

Yang perlu diperhatikan, hampir selalu pelakunya adalah orang yang dekat dengan si anak. Jarang, pelakunya orang yang tidak dikenal. Pelaku memilih sasaran anak kecil karena anak akan sulit membuktikan, anak tidak akan melawan, dan mudah dibujuk. Menurut dugaan Kristi, anak lebih banyak yang mengalami pelecehan seksual seperti dipegang-pegang dan dimanipulasi daripada perkosaan.

Dua dampak
Dampak yang diterima anak korban kekerasan seksual tergantung bagaimana kekerasan seksualnya. Disebut kekerasan seksual karena pelaku memanfaatkan si anak. Jika pelaku melakukan dengan kekerasan sampai anak luka parah, dampaknya lebih pada trauma. “Bukan sekadar takut dengan seks, tapi juga takut pada pria dewasa. Apalagi yang mirip dengan pelaku,” ujar Kristi.

Namun, jika model kekerasannya manipulasi seperti disayang-sayang, dipegang, lalu diraba, akan membawa dampak lain. Anak akan terpapar pada model seks yang tidak sehat atau tidak benar. Akibatnya, anak seolah-olah terobsesi pada perilaku itu.

Menurut Kristi, ada beberapa kasus anak yang mengalami perlakuan seperti itu, lalu dia menjadi tertarik pada seks. Orangtuanya mengetahui kekerasan seksual yang diterima anaknya setelah si anak berkata yang aneh-aneh. Misalnya, “Pa, aku ingin lihat 'burung' papa”, “Aku sepertinya hamil”, dan sebagainya yang seharusnya di usia anak itu belum bertanya seperti itu.

Karena anak terpapar pada seks terlalu dini, maka akan sangat berdampak tidak baik bagi perkembangannya. Anak ini akan berpikir bahwa seks merupakan penyelesaian. Akibat lain, ia akan bingung tentang dirinya. “Ada perasaan berdosa yang kuat, bingung karena diancam oleh pelaku agar tidak melapor, ada pula perasaan enak diperlakukan tidak senonoh. Perasaan-perasaan itu akan berat baginya,” jelas Kristi yang menjadi Co-Director Yayasan Pulih Jakarta.

Jadi, dampak korban kekerasan seksual adalah takut dan trauma, serta yang terpapar dini tentang seks. Bagi orangtua sebaiknya waspada mengapa anaknya ngomong seks terus, atau sering dekat-dekat dengan laki-laki.

Respon orangtua
Selain dampak dari perlakuan pelaku, respon orangtua juga harus diperhatikan. Jika orangtua memberi dukungan, mempercayai cerita anak, dan tidak menyalahkan anak, dampak yang akan dirasakan anak, akan lebih sedikit. Yang salah adalah ketika orangtua kelewatan syoknya sehingga menjadi panik. “Biasanya orangtua seperti ini karena masih memiliki pandangan tradisional,” tegas Kristi.

Orangtua seperti ini akan panik karena anaknya tidak perawan. Respon ini akan membawa dampak yang traumatik bagi anak. “Ada kasus, orangtua justru marah dan memukuli anaknya serta menuduh anaknya lah yang tidak bisa jaga diri. Lalu, dibawalah si anak ke depan pelakunya untuk melihat pelakunya dipukuli. Akibatnya si anak menjadi bingung tentang apa yang terjadi,” kisah Kristi.

Dampak dari peristiwa tadi, rupanya pelaku marah, lalu membalas dendam dan mengancam akan berlaku uruk jika dilaporkan ke polisi. Akhirnya keluarga si korban didesak warga sekitar untuk tidak melapor ke polisi. “Anak perempuan itu pun merasa semua orang menyalahkan dirinya. Secara psikologis, bebannya sangat berat. Jadi, respon orangtua tidak boleh salah karena dampaknya akan luar biasa bagi anak.”

Respon orangtua juga bermanfaat bagi kejujuran anak. Anak tidak akan takut untuk cerita jika ia mengalami kekerasan seksual. Orangtua yang diyakini si anak bisa memahami dirinya, membuat anak tidak akan ragu untuk cerita.

Sayangnya, kenyataanya cukup banyak orangtua yang sering memotong pembicaraan anak. Akibatnya anak malas cerita, apalagi bercerita tentang pelecehan seksual yang kesannya seram. Anak akan memilih untuk diam karena takut tidak dipercaya dan disalahkan. Sebaliknya seorang anak yang berada pada lingkungan yang cukup aman, cenderung akan bercerita tentang hal yang tidak umum terjadi.

Harus bersikap tenang
Cukup banyak orangtua yang tidak melaporkan kejadian saat anaknya mengalami kekerasan seksual. Terutama jika pelakunya adalah ayah dari anak itu sendiri. Si ibu (istri pelaku) biasanya menyuruh anaknya untuk diam, meskipun perasaannya tertekan. Sedangkan kasus yang pelakunya adalah orang di luar keluarga, biasanya ibu tidak melapor karena takut kalau anaknya jadi bahan pembicaraan masyarakat. Takut, nama keluarga juga tercemar.

Sebenarnya, menurut Kristi, masalah lapor-melapor ini jika tidak ditangani dengan baik akan buruk dampaknya bagi anak. “Usul saya, orangtua harus tetap tenang meskipun dalam situasi yang penuh kekagetan. Orangtua harus tahu, jika responnya salah akan membawa dampak luar biasa bagi anak,” jelasnya. Saran lain dari Kristi, sebaiknya orangtua bertanya dengan nada yang tetap (tenang) sehingga membuat anak aman untuk cerita.

Dengan cara seperti ini, orangtua akan tahu permasalahan anak dan tetap membuat anak berani untuk cerita. Orangtua juga harus melihat derajat keseriusan masalah anak. “Bukannya saya membela pelaku, tapi apakah misalnya hanya karena masalah payudara dipegang harus sampai ke pengadilan? Jadi, harus melihat manfaat yang diperoleh dan sisi negatifnya,” tegas Kristi.

Menangani kasus pelecehan seksual bukan berarti harus selalu membawanya ke pengadilan. Bisa dengan mengajak bicara pelaku dan menasihatinya. Karena jika kasus sudah terlanjur 'membahana' padahal masalah yang seharusnya bisa diselesaikan dengan baik, anak akan tertekan akibat rumor masyarakat. Namun, jika masalahnya berat dan juga menimpa anak-anak lain, harus segera dilaporkan ke pihak yang berwajib.

Kasus kekerasan seksual memang harus ditangani secara tepat. Hal ini dikarenakan dampak yang diterima anak tak cuma datang dari tekanan perasaannya sendiri, tetapi juga datang dari pandangan masyarakat yang cenderung memberi stigma negatif pada anak. Apalagi di Indonesia, respon masyarakat tentang seksual sering dianggap tabu. Misalnya menilai anak korban kekerasan seksual sudah tidak perawan.

Pilihan tepat
Berbagai dampak yang diterima anak korban kekerasan seksual menunjukkan bahwa masalah ini tentunya berat bagi anak dan keluarganya. Sehingga ada cara yang bisa dilakukan agar anak terhindar dari kekerasan seksual, yaitu orangtua harus bisa menjadi teman agar anak terbuka.

Ada beberapa nasihat yang bisa dikatakan orangtua pada anaknya. Misalnya, 'Kalau ada orang yang kamu rasa tidak benar perilakunya, kasih tahu papa mama.' Atau 'Ingat, tidak ada orang yang boleh pegang-pegang tubuh kamu.' Sehingga anak diajari untuk selalu waspada dan hati-hati.

“Saya tidak setuju dengan penjagaan anak yang terlalu ketat. Ini bisa mengakibatkan anak menjadi paranoid sehingga tidak bisa hidup wajar dan sehat. Daripada melarang, lebih baik cari tahu dengan saling bercerita tentang kegiatan sehari-hari,” ungkap Kristi.

Begitu juga dengan cara mencontohkan suatu kejadian secara eksplisit, mungkin tidak baik. Lebih baik menyuruh anak untuk hati-hati. Kecuali jika anak telah mengetahui kejadian kekerasan seksual, lalu dia bertanya. Orangtua lebih baik menjelaskannya.

Selanjutnya, jika masalah kekerasan seksual yang terjadi sulit untuk dibuktikan, lebih baik beri perhatian lebih pada anak. Artinya, mencari tahu bagaimana caranya agar anak tidak mengalami trauma seksual. Caranya, bisa ditanya dan diperiksa perilakunya, kemudian memberi sanksi pada pelaku.

“Wujud sanksi sangat luas. Tidak selalu berwujud hukum, tapi bisa diajak ngobrol dan dinasihati. Tetapi sanksi 'ngobrol' atau 'dinasehati' hanya berlaku jika kasusnya tidak terlalu parah,” ujar psikolog kelahiran 41 tahun yang lalu ini.

Ditegaskan Kristi, dirinya bukan membela pelaku kekerasan seksual. Manusia memiliki dorongan seksual, dan dia harus memahami seksualitasnya secara baik dan bertanggung jawab

Agar Anak Cerita
---------------------

Ada tips bagi orangtua untuk mengorek keterangan anak yang mengalami kekerasan seksual:
– Jangan panik dan marah. Lebih baik menyimpan rasa panik
– Jangan menuduh dan menyalahkan anak
– Tanya anak dengan nada bersahabat. Bisa dengan bertanya: Kenapa? Bagaimana kejadiannya? Di mana? Kamu dikasih apa? Sudah berapa kali kejadiannya? Pertanyaan harus detail agar orangtua bisa mengerti keparahan masalahnya

Waspadai Tanda-tanda Pelecehan Seksual
---------------------------------------------
Menurut Kristi Poerwandari, ada beberapa tanda yang dapat diwaspadai pada korban pelecehan seksual:
– Anak yang memiliki ketakutan khusus yang tidak biasa terjadi. Terutama takut pada figur tertentu, lalu menangis luar biasa. Harus digali apa penyebabnya.
– Ada perubahan perilaku yang mencolok. Misalnya dulu ceria tiba-tiba berubah pendiam dan penakut, atau dulu pendiam sekarang ceria dan suka dekat dengan laki-laki. Memang belum tentu ini tanda pelecehan seksual. Namun, oran tua harus waspada.
– Perubahan perilaku dan pembicaraan yang terkait dengan seks.
– Anak mengeluh sakit pada selangkangannya. Cara jalannya aneh, meringis tapi dia tidak mengatakan penyebabnya. Bisa juga jika ada bercak darah atau lendir di celananya, karena mungkin anak sudah sering terangsang secara seksual.
– Anak menutup diri, tetapi ia terkadang melakukan perilaku seks tertentu. “Pernah ada kasus si anak suka menggosokkan alat kelaminnya sendiri di tiang waktu jalan-jalan ke mal. Ternyata ia pernah mengalami pelecehan seksual di sekolah,” kisah Kristi.

No comments: