Thursday, April 03, 2008

Langkah-langkah Menolong Orang Yang Ingin Bunuh Diri

Tak jarang orang memilih bunuh diri agar masalah berakhir. Padahal hidup adalah rangkaian masalah yang hanya harus dilewati

Kecenderungan banyaknya kasus bunuh diri akhir-akhir ini memang sangat memprihatinkan. Apalagi perbuatan itu tidak hanya dilakukan orang dewasa, tetapi juga remaja bahkan anak-anak. Alasannya pun, terkadang mungkin sangat sepele.

Ada banyak pendapat bunuh diri kerap merupakan refleksi dari kerawanan psikologi sosial. Tak sedikit individu yang tak mampu menahan persoalan hidup yang datang silih berganti hingga kita mati. Mereka mudah merasa lebih menderita dibanding orang lain dan merasa mudah hancur hanya karena masalah yang bagi pandangan umum ‘sepele’.

Kejadian bunuh diri di Jakarta lebih disebabkan masalah psikologis, sosial, dan ekonomi. ''Kebanyakan dari mereka bunuh diri karena kehilangan pekerjaan atau dikenai PHK (pemutusan hubungan kerja), kemiskinan, dan gangguan psikologis akibat rumahnya digusur oleh tramtib. Mereka menjadi stres, depresi berkepanjangan, dan melakukan upaya bunuh diri.

Motif bunuh diri memang sangat beragam. Lihat saja dalam sejarah bunuh diri manusia, sebut saja Adolf Hitler, tokoh Nazi Jerman dan kekasihnya, Eva von Braun yang bunuh diri setelah Jerman kalah. Keduanya dengan heroik menelan racun sebelum maut menjelang. Belum lagi keheroikan pelaku bom bunuh diri yang sanggup membuat kita bergumam ‘luar biasa’.

Bahkan Oprah Winfrey yang saat ini terlihat amat percaya diri, sempat berencana mengakhiri hidup karena diputus sang pacar saat itu. Ia pun sudah membuat surat wasiat kepada siapa ia akan memberikan polis asuransi jiwanya.
Dengan alasan lain juga sastrawan Ernest Hemingway pun bunuh diri. Kakek dan pamannya melakukan hal yang sama bertahun-tahun sebelumnya. Fenomena bunuh diri keluarga pencinta seni ini diperpanjang tahun 1996 oleh Margaux Hemingway seorang supermodel dunia, yang di mata awam adalah salah satu perempuan paling beruntung karena cantik, terkenal dan kaya.

Yang tak kalah membuat bingung juga adalah fakta bahwa di Jepang, banyak pejabat yang gagah berani untuk harakiri demi harga diri daripada menanggung malu. Tak semua orang bisa mengerti dan mentolerir keputusan orang untuk cepat mati. Menurut Prayitno, pada umumnya, kecenderungan bunuh diri 80% disebabkan depresi yang terus-menerus.

Data dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2003 mengungkapkan bahwa satu juta orang bunuh diri dalam setiap tahunnya atau setiap 40 detik. Bunuh diri juga termasuk satu dari tiga penyebab utama kematian pada usia 15-34 tahun, selain karena masalah kecelakaan.

Sementara dari data di Jakarta, sepanjang 1995-2004 mencapai 5,8% dan sebagian besar dilakukan kaum pria. Dari 1.119 korban bunuh diri, 41% di antaranya gantung diri, 23% bunuh diri dengan minum obat serangga, dan sisanya 356 orang tewas karena overdosis obat-obatan terlarang. Data mengenai bunuh diri itu berdasarkan jumlah mayat yang diperiksa di Bagian Forensik RSUPN Cipto Mangunkusumo.

Terapi
-------------
Menurut Dr. L Suryantha Chandra SpKJ, ada sejumlah nasihat bagi orang yang ingin melakukan bunuh diri agar keinginannya tidak berlanjut. Penderita bisa ditolong dengan terapi dan bisa hidup lebih baik, mau berbicara dan mendengar dalam upaya memecahkan persoalan, serta tidak ada alasan melalui kesulitan sendirian tanpa bantuan orang lain.

Sebagai anggota keluarga, kerabat, teman dekat atau tettangga sekalipun, jangan biarkan orang itu merasa sendirian. “Ajaklah berbicara. Bila menolak berbicara, jangan dipaksakan. Tunggu sampai orang tersebut mau berbagi keluhan,” saran Dr. Chandra.

Selain itu, bila mendapati ada orang yang hendak melakukan bunuh diri, sebaiknya dengarkan apa yang dia keluhkan. Berikan dukungan agar dia tabah dan tetap berpandangan bahwa hidup ini bermanfaat, buat lingkungan tempat dia tinggal aman dengan cara menjauhkan alat-alat yang bisa digunakan untuk bunuh diri. "Kalau perlu, buatlah semacam ’kontrak’ pada dia untuk tidak melakukan bunuh diri, meski tingkat keberhasilan ini kecil," katanya.

Chandra menyatakan, kesulitan utama yang dihadapi barangkali apabila orang yang akan melakukan bunuh diri itu tidak menunjukkan gejala-gejala tersebut. Pada tingkat permukaan dia tampak mengerti dan memahami arti hidup, serta terkesan tidak akan melakukan bunuh diri, tetapi tahu-tahu dia sudah mati bunuh diri.

Lingkungan sosial, termasuk keluarga, juga menjadi sarana yang baik untuk membantu mengurangi atau menghilangkan keinginan orang untuk bunuh diri. ''Obat-obatan antidepresi memang bisa diberikan kepada pasien yang mengalami gangguan kejiwaan. Terapi lainnya adalah membuat orang itu menjadi lebih berarti,'' imbuh Chandra.

Chandra juga menegaskan bahwa terapi kedua-duanya harus berjalan ditambah lagi dengan pendekatan agama. Yang paling penting adalah jangan membiarkan orang tersebut terisolasi. Yang juga bisa dijadikan bahan pertimbangan untuk mencegah terjadinya bunuh diri adalah menerapkan pola hidup sehat dengan pola makan sehat, olahraga, berdoa dan bersosialisasi dengan lingkungan terdekat seperti keluarga, masyarakat merupakan terapi yang baik untuk menyehatkan jiwa.

Selain itu para orang tua hendaknya lebih memperhatikan anak-anak mereka dengan memberikan pedidikan moral dan agama sejak dini, sehingga mental anak-anak menjadi kuat. Kita sebagai bagian dari masyarakat sebaiknya juga memiliki kepekaan dan kepedulian terhadap kondisi lingkungan sekitar.
Jika melihat tetangga atau lingkungan susah, bantulah sebisanya. Bantuan tak hanya materi, bantuan moril seperti empati dan dukungan pun bisa memperkuat mental siapa saja yang tengah dilanda masalah.

Tak mudah menjelaskan fenomena bunuh diri di sekitar kita. Seperti juga tak mudah merumuskan beragam saran untuk mencegah bunuh diri. Bukankah hati orang lebih dalam dari lautan, siapa yang mampu menebak hati orang yang akan bunuh diri? Bukankan tiap pribadi berbeda dalam menghadapi tekanan hidup ini? Bukankan setiap orang berbeda dalam memandang persoalan hidup ini?
Tapi satu yang patut diingat, hanya Tuhan yang berwenang menghentikan hidup ini…

No comments: